sumber pengetahuan



SUMBER-SUMBER PENGETAHUAN
A.    Pendahuluan
Dalam perjalanan sejarah manusia, pemikiran filosofis senantiasa berkembang. Hal itu dikarenakan pemikiran merupakan hal yang paling mendasar dalam kehidupan manusia, bahkan merupakan ciri khas manusia. Hal tersebut tentunya tidak terlepas dari anugerah akal yang dimiliki oleh manusia. Pemikiran filosofis meniscayakan kelahiran filsafat sebagai induk dari semua ilmu. Di antara corak pemikiran manusia adalah pengetahuan tentang wujud, awal bermulanya hingga akhirnya. Oleh karena itu, buah pemikiran dari manusia melahirkan berbagai macam aliran dalam filsafat.
Pengetahuan berkembang dari rasa ingin tahu, yang merupakan ciri khas manusia karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengembangkan pengetahuan secara sungguh-sungguh. Binatang juga mempunyai ilmu pegetahuan, namun pengetahuan ini terbatas untuk kelangsungan hidupnya (suvival).
Manusia mengembangkan ilmu pengetahuannya untuk mengatasi  kebutuhan-kebutuhan kelangsungan hidup ini. Dia memikirkan hal-hal yang baru, karena dia hidup bukan sekedar untuk kelangsungan hidup, namun lebih dari itu. Manusia dalam hidupnya mempunyai tujuan tertentu yang lebih tinggi dari sekedar kelangsungan hidupnya. Hal inilah yang menyebabkan manusia mengembangkan pengetahuannya yang mendorong manusia menjadi makhluk yangbersifat khas dimuka bumi ini.
Dalam makalah ini penulis akan menitik beratkan pembahasannya kepada pengertian pengetahuan, sumber-sumber pengetahuan, kebenaran pengetahuan, dan batasan pengetahuan. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca terlebih bagi penulis.
Penulis

                                                                       
                                                                                        Sudirman

B.     Pengertian Pengetahuan
Menurut Kamus bahasa Indonesia semakna dengan kata Knowledge yang diartikan sebagai sejumlah informasi yang diperoleh melalui pengamatan, pengalaman (empiris) dan penalaran (rasio). Jadi pengetahuan adalah apa yang diketahui manusia atau hasil pekerjaan manusia sehingga menjadi tahu atau mengerti.[1]
Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secata langsung atau tak langsung turut memperkaya kehidupan kita. Sukar untuk dibayangkan bagaimana kehidupan manusia seandainya tidak ada, sebab pengetahuan merupakan sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan.[2]
Pengetahuan berbeda dengan ilmu-ilmu dan berbeda dari sudut pandang sistematisnya serta cara memperolehnya. Perbedaan itu menyangkut pengetahuan yang pra ilmiah/pengetahuan biasa, sedangkan pengetahuan ilmiah dengan ilmu tidak mempunyai perbedaan yang berarti. Oleh karena itu, Moh. Hatta menjelaskan bahwa pengetahuan yang didapat dari pengalaman disebut pengetahuan pengalaman. Pengetahuan yang didapat dari keterangan disebut ilmu. Pengetahuan adalah tangga pertama bagi ilmu untuk mencari keterangan lebih lanjut.[3]
Ada dua teori untuk mengetahui hakikat pengetahuan, yaitu:
1.      Realisme
teori ini  mempunyai pandangan realistis terhadap alam . pengetahuan menurut realisme adalah gambaran atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata. pengetahuan atau gambaran yang ada dalam akal adalah kopi dari yang asli yang ada diluar akal. Hal ini tidak ubahnya seperti gambaran yang terdapat dalam foto. Dengan demikian, realisme berpandapat bahwa pengetahuan adalah benar dan tepat bila sesuai  dengan kenyataan.
2.      Idealisme
Ajaran idealisme menegaskan bahwa untuk mendapatkan pengetahun yang benar benar sesuai dengan kenyataan adalah mustahil. Pengetahuan adalah proses proses mental atau proses psikologis yang bersifar subjektif. Oleh karena itu, pengetahuan bagi seorang idealis hanya merupakan gambaran subjektif dan bukan gambaran objektif tentang realitas. Pengetahuan menurut teori ini tidak menggambarkan hakikat kebenaran yang diberikannya hanyalah gambaran menurut pendapat atau penglihatan orang yang mengetahui.[4]

C.  Sumber-Sumber Pengetahuan
1.      Empirisme
Kata ini berasal dari yunani empeirikos, artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata Yunani, pengalaman yang dimaksud ialah pengalaman indera.[5]
Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. Aliran ini berpendapat bahwa empiris atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan, baik pengalaman yang bathiniah maupun yang lahiriah. Akal bukan jadi sumber pengetahuan, tetapi akal mendapat tugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman.[6]
 John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa),dan di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama dan sederhana tersebut.
Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan,yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu di lacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang faktual.
David hume, salah satu tokoh empirisme mengatakan bahwa manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal, yaitu kesan-kesan dan pengertian-pengertian atau ide-ide. Yang dimaksud dengan kesan-kesan adalah pengamatan langsung yang diterima langsung dari pengalaman, seperti merasakan tangan terbakar. Yang dimaksud dengan ide adalah gambaran tentang pengamatan yang samar-samar yang dihasilkan dengan merenungkan kembali atau terefleksikan dalam kesan-kesan yang diterima dari pengalaman.[7]
2.      Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.[8]
Akal dengan kemampuannya bisa membedakan antara mana yang salah dan mana yang benar. Selain itu juga akal bekerja dengan menggunakan hukum-hukum logika yang diakui kebenarannya. Akal dengan tegasnya bisa menunjukkan kelemahan empiris sebagai sumber kebenaran. Misalnya ketika sebatang kayu dicelupkan ke dalam air, kayu tersebut oleh indera akan tampak membengkok. Tapi apakah benar kayu tersebut mengalami pembengkokan setelah dicelupkan ke dalam air. Secara rasional tentu saja tidak mungkin melihat karakter kayu itu bukan benda yang mudah bengkok apalagi hanya dicelupkan ke dalam air. Di sinilah akal diakui sebagai sumber kebenaran.
Aliran ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan yang perlu mutlak, yaitu syarat yang dipakai oleh semua pengetahuan ilmiah. Pengalaman hanya dapat dipakai untuk meneguhkan pengetahuan yang didapat oleh akal. Akal dapat menurunkan kebenaran dari pada dirinya sendiri, yaitu atas dasar asas pertama yang pasti. Metode yang diterapakan adalah deduktif. Teladan yang dikemukakan adalah ilmu pasti. Di antara para filosof rasionalis adalah Rene Descartes, B. Spinoza, dan Leibniz.”[9]
Descartes merupakan filosof pendobrak dalam tradisi kefilsafatan Barat. Ia dianggap sebagai bapak filosof modern. Gagasannya yang paling monumental adalah Cogito Ergo Sum “aku  berpikir maka aku ada”. Sejak itulah akal benar-benar mendapatkan tempat yang agung sebagai sumber pengetahuan. Manusia mempunyai posisi yang sangat dominan sebagai subjek yang berpikir karena ia mempunayi akal. Ia adalah subjek yang sadar akan keberadaan dirinya sendiri dan keberadaan dunia di sekitarnya.
Berawal dari kesangsian dirinya akan segala hal, ia berusaha membangun landasan filososif tentang kebenaran yang tak kuat. Ia berpikir bahwa segala sesuatu bisa kita sanksikan. Bahkan keberadaan dirinya sendiri ia meragukannya. Tapi ada satu hal yang tidak mungkin bisa ia sanksikan bahwa ia dalam keadaan sanksi itu sendiri. Semakin ia sanksi semakin ia yakin akan kebenaran kesanksian atas dirinya dan semakin pula ia yakin akan keberadaan dirinya. Dari sinilah kemudian Descartes baru mengakui akan keberadaan yang lain. Namun bagaimana jika manusia itu berhenti berpikir, ketika dalam keadaan tidur misalnya? Descartes mengatakan bahwa masih ada Tuhan yang selalu hidup, yang tidak pernah berhenti dari semua aktivitasnya.
Murtadha Muththahari mengatakan bahwa sumber pengetahuan tidak hanya rasio dan hati, melainkan alam dan sejarah.[10] Sedangkan M. Taqi Mishbah Yazdi lebih menekankan fakultas indrawi dan akal sebagai sumber pengetahuan. Adapun fakultas hati, dalam mencapai pengetahuan, merupakan ranah ‘irfan bukan filsafat.[11] Agaknya karena alasan inilah bahwa fakultas hati (qalb, fu’ad) merupakan pembahasan ‘irfan bukan filsafat, kita bisa memahami pandangan Yazdi yang tidak begitu menekankan daya hati dalam epistemologi yang merupakan cabang filsafat. Ada juga yang menganggap bahwa sumber pengetahuan yang hakiki (primer) adalah wahyu sedangkan daya-daya lain lebih sebagai sumber sekunder.
3.      Indera
Salah satu sumber ilmu pengetahuan adalah indera. Manusia bisa mendapatkan pengetahuan dengan menggunakan indera yang dimilkinya. Dengan mata manusia bisa melihat, dengan hidung kita bisa mencium, dengan kulit kita bisa meraba, dengan telinga kita bisa mendengar dan dengan lidah kita bisa merasakan. Jadi, yang bisa ditangkap oleh indera adalah benda-benda yang sifatnya fisik. Di luar fisik indera tidak mampu menangkapnya atau mengetahuinya.
Aliran dalam filsafat yang mengatakan bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui indera disebut dengan empirisme. Aliran ini berpendapat, bahwa empirisme atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan, baik pengalaman batiniah maupun lahiriah. Akal bukan jadi sumber pengetahuan, tetapi akal mendapat tugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman. Metode yang diterapkan adalah induksi. Para Filosof empirisme antara lain John Locke, David Hume dan William James. David Hume termasuk dalam empirisme radikal menyatakan bahwa ide-ide dapat dikembalikan pada sensasi-sensasi (rangsang indera). Pengalaman merupakan ukuran terakhir dari kenyataan. Wiliam James mengatakan bahwa pernyataan tentang fakta adalah hubungan di antara benda, sama banyaknya dengan pengalaman khusus yang diperoleh secara langsung dengan indera.[12] 
4.      Intuisi
Jika indera dan akal mampu digunakan untuk memperoleh pengetahuan maka demikian halnya dengan intuisi. Bahkan pengetahuan yang berasal dari intuisi inilah yang diakui kebenarannya. Sebab indera dan akal hanya mampu mendiskripsikan, melukiskan dan menganalisa sedangkan intuisi bisa menghadirkan pengetahuan secara langsung ke dalam diri seseorang. Maka pengetahuan inderawi dan akal bisa disebut sebagai pengetahuan hushuli artinya pengetahuan perolehan yang didapat melalui perantara. Sedangkan pengetahuan intuisi merupakan pengetahuan hudluri karena objek dari ilmu itu sendiri hadir ke dalam diri subjek yang mengetahui tanpa sebuah perantara apapun. Sehingga pengetahuan hushuli cenderung rentan terhadap kesalahan. Misalnya saja ketika ada yang tidak benar dengan indera maupun akal kita. Sebaliknya pengetahuan intuisi tidak diragukan lagi kebenarannya.
Pengetahuan intuisi itu sifatnya penyingkapan atas sebuah realita. Jadi seorang subjek benar-benar merasakan secara langsung apa yang ia alami. Tidak ada pengenalan secara langsung terhadap sebuah realita selain melalui intuisi. Di sinilah letak kevalidan pengetahuan intuisi berbeda dengan pengetahuan inderawi dan akal yang hanya memperlihatkan penampakannya saja.
Di antara para filosof intusionisme sebuah aliran yang menjadikan intuisi sebagai sumber pengetahuannya adalah Henry Bergson seorang filosof Perancis. Pengetahuan intuisi ini juga sangat familiar di kalangan para mazhab irfani (kaum sufi). Metode yang dipakai kita kenal dengan metode irfani. Menurutnya intuisi adalah hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi. Ia juga mengatakan bahwa intuisi adalah suatu pengetahuan yang mutlak dan bukan pengetahuan yang nisbi.[13]
5.      Wahyu
Satu-satunya sumber pengetahuan yang tidak bisa diusahakan oleh manusia adalah wahyu. Artinya ia benar-benar bersumber dan pemberian dari Tuhan. Sehingga kebenarannya tidak perlu disanksikan lagi. Biasanya pengetahuan ini disampaikan melalui orang-orang pilihan dan utusan Tuhan dalam bentuk kitab suci.
Dasar dari pengetahuan ini adalah keyakinan dan menjadi salah satu pilar keyakinan beragama. Orang yang beragama harus meyakini kebenaran semua isi kandungan kitab suci. Di dalam kitab suci biasanya terkandung cerita-cerita masa lalu. Berita tentang surga, neraka, pahala dan dosa. Tentu saja yang tak kalah pentingnya adalah kebenaran akan keberadaan Tuhan pencipta alam. Dan masih banyak berita-berita yang lainnya. Wahyu merupakan sumber pengetahuan yang kaya. Metode yang dipakai adalah metode bayani.

D.     Kebenaran Pengetahuan
Sebelum membahas tentang teori kebenaran terlebih dahulu penting kiranya untuk mendefinisikan apa arti kebenaran itu sendiri. Kebenaran menjadi isu sentral dalam ilmu pengetahuan karena tujuan dari ilmu pengetahuan adalah untuk mencari kebenaran.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Purwadaminta ditemukan arti kebenaran, yakni keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya).[14] Menurut William James yang dikutip oleh Titus dkk kebenaran (truth) adalah yang menjadikan berhasil cara kita berpikir dan kebenaran adalah yang menjadikan kita berhasil cara kita bertindak. Sedangkan menurut Louis Kattsoff ‘kebenaran’ menunjukkan bahwa makna sebuah ‘pernyataan’ artinya, proposisinya sungguh-sungguh merupakan halnya. Bila proposisinya bukan merupakan halnya, maka kita mengatakan bahwa proposisi itu “sesat”.[15] Selanjutnya berkaitan dengan teori kebenaran ada beberapa macam:
1.      Teori Koherensi
Teori koherensi dibangun oleh para pemikir rasionalis seperti Leibniz, Spinoza, Hegel, dan Bradley. Menurut Kattsoff (1986) dalam bukunya Elements of Philosophy, teori koherensi dijelaskan suatu proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi-proposisi lain yang benar, atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita.[16]
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori koherensi, suatu pernyataan dianggap benar jika pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan, “si polan adalah manusia dan si polan pasti mati” adalah benar, sebab pernyataan kedua adalah konsisten  dengan pernyataan yang pertama.[17]
2.      Teori Korespondensi
Teori korespondensi biasanya dianut oleh para pengikut realisme, dan mereka berpegang pada pendirian fakta-fakta. Dan teori ini yang diterima secara luas oleh kelompok realis. Menurut paham ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita objektif. Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri.[18]
Kebenaran teori korespondensi berdasarkan pengalaman inderawi sehingga ada atau tidak adanya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan. Misalnya pernyataan “Kota Bandung berada di wilayah Jawa Barat” bukan karena pernyataan ini berguna atau apa, tapi karena secara geografis dan berdasarkan pengalaman maupun bukti empiris memang demikian.
3.      Teori Kebenaran Pragmatis
Teori kebenaran pragmatis dicetuskan oleh Charles S. Pierce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How to Make Our Ideas Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filsafat ini misalnya William James, John Dewey, George Herbert Mead dan C. I. Lewis.[19]
Teori pragmatisme beranggapan bahwa sesuatu itu dianggap benar jika secara fungsional ia memberikan manfaat. Jadi ukurannya adalah hasil yang didapatkannya. Jika hasilnya menguntungkan maka ia baik dan benar dan sebaliknya jika hasilnya merugikan maka ia buruk dan salah.
Kattsoff (1986) menguraikan tentang teori kebenaran pragmatis ini adalah penganut pragmatisme meletakkan ukuran kebenaran dalam salah satu macam konsekuensi. Atau proposisi itu dapat membantu untuk mengadakan penyesuaian yang memuaskan terhadap pengalaman, pernyataan itu adalah benar. Misalnya pengetahuan naik bus berhenti di posisi kiri. Dengan berhenti di posisi kiri, penumpang bisa turun dengan selamat. Jadi, mengukur kebenaran bukan dilihat karena bus berhenti di posisi kiri, namun penumpang bisa turun dengan selamat karena berhenti di posisi kiri.[20]

E.  Batasan Pengetahuan
Berbicara tentang masalah ontologi memang sangat luas sekali cakupannya. Ia tidak hanya berbicara soal keberadaan yang sifatnya materi tetapi juga immateri. Kalau wujud yang materi bisa diketahui dengan menggunakan pendekatan empiris maka wujud immateri hanya kita yakini keberadaannya begitu saja. Paling kita percaya karena wujud yang immateri itu seperti keberadaan Tuhan, surga, neraka dan lainnya diterangkan dalam kitab suci (wahyu) bagi kalangan yang beragama. Bagi para penganut paham ateisme tentu saja mereka tidak memercayai hal-hal yang bersifat immateri tersebut.
Lantas apakah batas yang merupakan ruang lingkup penjelajahan ilmu? Di manakah ilmu berhenti dan menyerahkan pengkajian selanjutnya kepada pengetahuan lain? Apakah yang menjadi karakteristik objek ontologis ilmu yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan yang lain? Jawaban dari semua pertanyaan itu sangat sederhana. Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia. Apakah ilmu mempelajari hal ihwal surga dan neraka? Jawabnya adalah tidak sebab surga dan neraka berada di luar jangkauan pengalaman manusia. Apakah ilmu mempelajari sebab musabab kejadian terciptanya manusia? Jawabnya juga adalah tidak sebab kejadian itu berada di luar jangkauan pengalaman kita. Baik hal yang terjadi sebelum hidup maupun yang terjadi setelah kematian kita, semua itu berada di luar penjelajahan ilmu.[21]
Dengan demikian yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah pengetahuan yang hanya bisa dijangkau oleh akal manusia dan bahkan yang bisa diuji kebenarannya secara empiris. Sebuah ilmu harus memenuhi standar metodologis dan bisa diuji dengan menggunakan metode-metode ilmiah. Jika suatu ilmu itu berada di luar jangkauan pengalaman manusia bagaimana kita bisa menguji kebenarannya dengan standar metodologis dan metode-metode ilmiah.
Pembatasan ruang lingkup ilmu yang seperti ini nampaknya sangat sempit sekali. Memang hal ini tidak bisa dilepaskan dari tradisi keilmuan yang berkembang di Barat. Ilmu yang dalam bahasa Barat disebut dengan science merupakan suatu pengetahuan yang tidak diragukan lagi kebenarannya karena ia memenuhi standar-standar ilmiah. Ia bisa dibuktikan secara empiris dan bisa di eksperimentasi. Sehingga suatu ilmu yang tidak memenuhi kualifikasi itu bukanlah merupakan ilmu. Oleh sebab itu sesuatu hal yang sifatnya immateri bukan termasuk objek kajian ilmu dan bahkan ia dianggap tidak ada. Seperti itulah asumsi para saintis tentang ilmu terutama yang berkembang di dunia Barat.
F.     PENUTUP
1.      Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secata langsung atau tak langsung turut memperkaya kehidupan kita. Sukar untuk dibayangkan bagaimana kehidupan manusia seandainya tidak ada, sebab pengetahuan merupakan sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan.
Ada beberapa sumber pengetahuan yaitu wahyu, intuisi, rasio, empirisme, dan indra. Masing-masing sumber berbeda cara memperolehnya.
2.      Saran
Makalah ini jauh dari kesempurnaan untuk itu penulis membutuhkan kritik dan saran dari pembaca agar lebih baiknya makalah ini kedepannya.


[1] Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, dan Agama, (Jakarta : Bulan Bintang, 1979),  h. 15
[2] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), h. 104
[3] Moh Hatta, Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan, (Jakarta: Pembangunan 1970), hlm. 5-6 (JURNAL ILMIAH word press. Diakses pada tanggal 27-03-2017)
[4] Amsal Bakhtiar,  FilsafatIlmu, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014), h. 94-96  
[5] Ibid., h. 98
[6] Surajiyo, Filsafat Ilmu Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008) h. 33
[7] Bakhtiar Amsal, op.cit., h. 99-100
[8]  Ibid.
[9]Ibit. h. 33
[10]Lihat Murtadha Muththahari, Mengenal Epistemologi, diterj. dari Mas’ale-ye Syenokh oleh Muhammad Jawad Bafaqih (Jakarta : Lentera, 2003), bab Sumber-Sumber Epistemologi, h. 80-109.
[11]Lihat Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam, diterj. dari Philosophical Instructions: An Introduction To Contemporary Islamic Philosophy oleh Musa Kazhim dan Saleh Bagir (Bandung: Mizan, 2003), bab Epistemologi, h.77-161.
[12]Surajiyo.  Of, Cit. h. 33-34
[13] Bakhtiar Amsal, op.cit., h. 107
[14]Ibit. h. 122
[15]Mulyana dalam Diktat Kuliah Filsafat Agama UIN Bandung (Bandung, 2001), h. 3
[16]Surajiyo. op.cit.,  h. 105
[17]Mulyana. op.cit., h. 55
[18]Ibit.  h. 6
[19]Jujun S. Suriasumantri, op.cit., h. 57
[20]Surajiyo. op.cit., h. 106
[21]Jujun S. Suriasumantri, op.cit., h, 91

Komentar

Postingan Populer