sumber pengetahuan
SUMBER-SUMBER PENGETAHUAN
A.
Pendahuluan
Dalam
perjalanan sejarah manusia, pemikiran filosofis senantiasa berkembang. Hal itu
dikarenakan pemikiran merupakan hal yang paling mendasar dalam kehidupan
manusia, bahkan merupakan ciri khas manusia. Hal tersebut tentunya tidak
terlepas dari anugerah akal yang dimiliki oleh manusia. Pemikiran filosofis
meniscayakan kelahiran filsafat sebagai induk dari semua ilmu. Di antara corak
pemikiran manusia adalah pengetahuan tentang wujud, awal bermulanya hingga
akhirnya. Oleh karena itu, buah pemikiran dari manusia melahirkan berbagai macam aliran dalam filsafat.
Pengetahuan
berkembang dari rasa ingin tahu, yang merupakan ciri khas manusia karena
manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengembangkan pengetahuan secara
sungguh-sungguh. Binatang juga mempunyai ilmu pegetahuan, namun pengetahuan ini
terbatas untuk kelangsungan hidupnya (suvival).
Manusia
mengembangkan ilmu pengetahuannya untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan kelangsungan hidup ini.
Dia memikirkan hal-hal yang baru, karena dia hidup bukan sekedar untuk
kelangsungan hidup, namun lebih dari itu. Manusia dalam hidupnya mempunyai
tujuan tertentu yang lebih tinggi dari sekedar kelangsungan hidupnya. Hal
inilah yang menyebabkan manusia mengembangkan pengetahuannya yang mendorong
manusia menjadi makhluk yangbersifat khas dimuka bumi ini.
Dalam makalah ini penulis akan menitik beratkan
pembahasannya kepada pengertian pengetahuan, sumber-sumber pengetahuan,
kebenaran pengetahuan, dan batasan pengetahuan. Semoga
makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca terlebih
bagi penulis.
Penulis
Sudirman
B.
Pengertian Pengetahuan
Menurut Kamus bahasa Indonesia semakna dengan kata Knowledge yang diartikan
sebagai sejumlah informasi yang diperoleh melalui pengamatan, pengalaman
(empiris) dan penalaran (rasio). Jadi pengetahuan adalah apa yang diketahui
manusia atau hasil pekerjaan manusia sehingga menjadi tahu atau mengerti.[1]
Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan
mental yang secata langsung atau tak langsung turut memperkaya kehidupan kita.
Sukar untuk dibayangkan bagaimana kehidupan manusia seandainya tidak ada, sebab
pengetahuan merupakan sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam
kehidupan.[2]
Pengetahuan berbeda dengan ilmu-ilmu
dan berbeda dari sudut pandang sistematisnya serta cara memperolehnya.
Perbedaan itu menyangkut pengetahuan yang pra ilmiah/pengetahuan biasa,
sedangkan pengetahuan ilmiah dengan ilmu tidak mempunyai perbedaan yang
berarti. Oleh karena itu, Moh. Hatta menjelaskan bahwa pengetahuan yang didapat
dari pengalaman disebut pengetahuan pengalaman. Pengetahuan yang didapat dari
keterangan disebut ilmu. Pengetahuan adalah tangga pertama bagi ilmu untuk
mencari keterangan lebih lanjut.[3]
Ada dua teori untuk mengetahui hakikat
pengetahuan, yaitu:
1.
Realisme
teori ini mempunyai pandangan realistis terhadap alam .
pengetahuan menurut realisme adalah gambaran atau kopi yang sebenarnya dari apa
yang ada dalam alam nyata. pengetahuan atau gambaran yang ada dalam akal adalah
kopi dari yang asli yang ada diluar akal. Hal ini tidak ubahnya seperti
gambaran yang terdapat dalam foto. Dengan demikian, realisme berpandapat bahwa
pengetahuan adalah benar dan tepat bila sesuai
dengan kenyataan.
2.
Idealisme
Ajaran idealisme menegaskan bahwa untuk
mendapatkan pengetahun yang benar benar sesuai dengan kenyataan adalah
mustahil. Pengetahuan adalah proses proses mental atau proses psikologis yang
bersifar subjektif. Oleh karena itu, pengetahuan bagi seorang idealis hanya
merupakan gambaran subjektif dan bukan gambaran objektif tentang realitas. Pengetahuan menurut teori ini tidak menggambarkan
hakikat kebenaran yang diberikannya hanyalah gambaran menurut pendapat atau
penglihatan orang yang mengetahui.[4]
C. Sumber-Sumber Pengetahuan
1.
Empirisme
Kata
ini berasal dari yunani empeirikos,
artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui
pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata Yunani, pengalaman yang
dimaksud ialah pengalaman indera.[5]
Empirisme
adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh
pengetahuan dengan melalui pengalaman. Aliran ini berpendapat
bahwa empiris atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan, baik
pengalaman yang bathiniah maupun yang lahiriah. Akal bukan jadi sumber
pengetahuan, tetapi akal mendapat tugas untuk mengolah bahan-bahan yang
diperoleh dari pengalaman.[6]
John Locke, bapak empirisme Britania,
mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya merupakan jenis catatan
yang kosong (tabula rasa),dan di dalam buku catatan itulah dicatat
pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita
diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang
diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama dan sederhana
tersebut.
Ia
memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan,yang secara pasif menerima
hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun
rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi
yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun
objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu di lacak kembali
secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan
mengenai hal-hal yang faktual.
David
hume, salah satu tokoh empirisme mengatakan bahwa manusia tidak membawa
pengetahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan.
Pengamatan memberikan dua hal, yaitu kesan-kesan dan pengertian-pengertian atau
ide-ide. Yang dimaksud dengan kesan-kesan adalah pengamatan langsung yang
diterima langsung dari pengalaman, seperti merasakan tangan terbakar. Yang
dimaksud dengan ide adalah gambaran tentang pengamatan yang samar-samar yang
dihasilkan dengan merenungkan kembali atau terefleksikan dalam kesan-kesan yang
diterima dari pengalaman.[7]
2.
Rasionalisme
Rasionalisme
berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena
rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling
dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme
yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di
dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang
sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di
dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.[8]
Akal dengan kemampuannya bisa
membedakan antara mana yang salah dan mana yang benar. Selain itu juga akal
bekerja dengan menggunakan hukum-hukum logika yang diakui kebenarannya. Akal
dengan tegasnya bisa menunjukkan kelemahan empiris sebagai sumber kebenaran.
Misalnya ketika sebatang kayu dicelupkan ke dalam air, kayu tersebut oleh
indera akan tampak membengkok. Tapi apakah benar kayu tersebut mengalami
pembengkokan setelah dicelupkan ke dalam air. Secara rasional tentu saja tidak
mungkin melihat karakter kayu itu bukan benda yang mudah bengkok apalagi hanya
dicelupkan ke dalam air. Di sinilah akal diakui sebagai sumber kebenaran.
Aliran ini
berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang
memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan yang perlu mutlak, yaitu
syarat yang dipakai oleh semua pengetahuan ilmiah. Pengalaman
hanya dapat dipakai untuk meneguhkan pengetahuan yang didapat oleh akal. Akal
dapat menurunkan kebenaran dari pada dirinya sendiri, yaitu atas dasar asas
pertama yang pasti. Metode yang diterapakan adalah deduktif. Teladan yang
dikemukakan adalah ilmu pasti. Di antara para filosof rasionalis adalah Rene
Descartes, B. Spinoza, dan Leibniz.”[9]
Descartes merupakan filosof pendobrak
dalam tradisi kefilsafatan Barat. Ia dianggap sebagai bapak filosof modern.
Gagasannya yang paling monumental adalah Cogito Ergo Sum
“aku berpikir maka aku ada”. Sejak
itulah akal benar-benar mendapatkan tempat yang agung sebagai sumber
pengetahuan. Manusia mempunyai posisi yang sangat dominan sebagai subjek yang
berpikir karena ia mempunayi akal. Ia adalah subjek yang sadar akan keberadaan
dirinya sendiri dan keberadaan dunia di sekitarnya.
Berawal dari kesangsian dirinya akan
segala hal, ia berusaha membangun landasan filososif tentang kebenaran yang tak
kuat. Ia berpikir bahwa segala sesuatu bisa kita sanksikan. Bahkan keberadaan
dirinya sendiri ia meragukannya. Tapi ada satu hal yang tidak mungkin bisa ia
sanksikan bahwa ia dalam keadaan sanksi itu sendiri. Semakin ia sanksi semakin
ia yakin akan kebenaran kesanksian atas dirinya dan semakin pula ia yakin akan
keberadaan dirinya. Dari sinilah kemudian Descartes baru mengakui akan
keberadaan yang lain. Namun bagaimana jika manusia itu berhenti berpikir,
ketika dalam keadaan tidur misalnya? Descartes mengatakan bahwa masih ada Tuhan
yang selalu hidup, yang tidak pernah berhenti dari semua aktivitasnya.
Murtadha Muththahari mengatakan bahwa
sumber pengetahuan tidak hanya rasio dan hati, melainkan alam dan sejarah.[10]
Sedangkan M. Taqi Mishbah Yazdi lebih menekankan fakultas indrawi dan akal
sebagai sumber pengetahuan. Adapun fakultas hati, dalam mencapai pengetahuan,
merupakan ranah ‘irfan bukan filsafat.[11]
Agaknya karena alasan inilah bahwa fakultas hati (qalb, fu’ad) merupakan
pembahasan ‘irfan bukan filsafat, kita bisa memahami pandangan Yazdi
yang tidak begitu menekankan daya hati dalam epistemologi yang merupakan cabang
filsafat. Ada juga yang menganggap bahwa sumber pengetahuan yang hakiki
(primer) adalah wahyu sedangkan daya-daya lain lebih sebagai sumber sekunder.
3.
Indera
Salah satu sumber ilmu pengetahuan
adalah indera. Manusia bisa mendapatkan pengetahuan dengan menggunakan indera
yang dimilkinya. Dengan mata manusia bisa melihat, dengan hidung kita bisa
mencium, dengan kulit kita bisa meraba, dengan telinga kita bisa mendengar dan
dengan lidah kita bisa merasakan. Jadi, yang bisa ditangkap oleh indera adalah
benda-benda yang sifatnya fisik. Di luar fisik indera tidak mampu menangkapnya
atau mengetahuinya.
Aliran dalam filsafat yang mengatakan
bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui indera disebut dengan empirisme.
Aliran ini berpendapat, bahwa empirisme atau pengalamanlah yang menjadi sumber
pengetahuan, baik pengalaman batiniah maupun lahiriah. Akal bukan jadi sumber
pengetahuan, tetapi akal mendapat tugas untuk mengolah bahan-bahan yang
diperoleh dari pengalaman. Metode yang diterapkan adalah induksi. Para Filosof
empirisme antara lain John Locke, David Hume dan William James. David Hume
termasuk dalam empirisme radikal menyatakan bahwa ide-ide dapat dikembalikan
pada sensasi-sensasi (rangsang indera). Pengalaman merupakan ukuran terakhir
dari kenyataan. Wiliam James mengatakan bahwa pernyataan tentang fakta adalah
hubungan di antara benda, sama banyaknya dengan pengalaman khusus yang
diperoleh secara langsung dengan indera.[12]
4.
Intuisi
Jika indera dan akal mampu digunakan
untuk memperoleh pengetahuan maka demikian halnya dengan intuisi. Bahkan
pengetahuan yang berasal dari intuisi inilah yang diakui kebenarannya. Sebab
indera dan akal hanya mampu mendiskripsikan, melukiskan dan menganalisa
sedangkan intuisi bisa menghadirkan pengetahuan secara langsung ke dalam diri
seseorang. Maka pengetahuan inderawi dan akal bisa disebut sebagai pengetahuan hushuli
artinya pengetahuan perolehan yang didapat melalui perantara. Sedangkan
pengetahuan intuisi merupakan pengetahuan hudluri karena objek dari ilmu
itu sendiri hadir ke dalam diri subjek yang mengetahui tanpa sebuah perantara
apapun. Sehingga pengetahuan hushuli cenderung rentan terhadap
kesalahan. Misalnya saja ketika ada yang tidak benar dengan indera maupun akal
kita. Sebaliknya pengetahuan intuisi tidak diragukan lagi kebenarannya.
Pengetahuan intuisi itu sifatnya
penyingkapan atas sebuah realita. Jadi seorang subjek benar-benar merasakan
secara langsung apa yang ia alami. Tidak ada pengenalan secara langsung
terhadap sebuah realita selain melalui intuisi. Di sinilah letak kevalidan
pengetahuan intuisi berbeda dengan pengetahuan inderawi dan akal yang hanya
memperlihatkan penampakannya saja.
Di antara para filosof intusionisme sebuah aliran yang menjadikan intuisi
sebagai sumber pengetahuannya adalah
Henry Bergson seorang filosof Perancis. Pengetahuan intuisi ini juga sangat
familiar di kalangan para mazhab irfani (kaum sufi). Metode yang dipakai kita
kenal dengan metode irfani. Menurutnya
intuisi adalah hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi. Ia juga mengatakan
bahwa intuisi adalah suatu pengetahuan yang mutlak dan bukan pengetahuan yang
nisbi.[13]
5.
Wahyu
Satu-satunya sumber pengetahuan yang
tidak bisa diusahakan oleh manusia adalah wahyu. Artinya ia benar-benar
bersumber dan pemberian dari Tuhan. Sehingga kebenarannya tidak perlu
disanksikan lagi. Biasanya pengetahuan ini disampaikan melalui orang-orang
pilihan dan utusan Tuhan dalam bentuk kitab suci.
Dasar dari pengetahuan ini adalah
keyakinan dan menjadi salah satu pilar keyakinan beragama. Orang yang beragama
harus meyakini kebenaran semua isi kandungan kitab suci. Di dalam kitab suci
biasanya terkandung cerita-cerita masa lalu. Berita tentang surga, neraka,
pahala dan dosa. Tentu saja yang tak kalah pentingnya adalah kebenaran akan
keberadaan Tuhan pencipta alam. Dan masih banyak berita-berita yang lainnya.
Wahyu merupakan sumber pengetahuan yang kaya. Metode yang dipakai adalah metode
bayani.
D.
Kebenaran Pengetahuan
Sebelum membahas tentang teori
kebenaran terlebih dahulu penting kiranya untuk mendefinisikan apa arti
kebenaran itu sendiri. Kebenaran menjadi isu sentral dalam ilmu pengetahuan
karena tujuan dari ilmu pengetahuan adalah untuk mencari kebenaran.
Dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia yang ditulis oleh
Purwadaminta ditemukan arti kebenaran, yakni keadaan (hal dan sebagainya) yang
benar (cocok dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya).[14] Menurut William James yang dikutip oleh
Titus dkk kebenaran
(truth) adalah yang menjadikan berhasil cara kita berpikir dan kebenaran
adalah yang menjadikan kita berhasil cara kita bertindak. Sedangkan menurut
Louis Kattsoff ‘kebenaran’ menunjukkan bahwa makna sebuah ‘pernyataan’ artinya,
proposisinya sungguh-sungguh merupakan halnya. Bila proposisinya bukan
merupakan halnya, maka kita mengatakan bahwa proposisi itu “sesat”.[15]
Selanjutnya berkaitan dengan teori kebenaran ada beberapa macam:
1.
Teori
Koherensi
Teori koherensi dibangun oleh para
pemikir rasionalis seperti Leibniz, Spinoza, Hegel, dan Bradley. Menurut
Kattsoff (1986) dalam bukunya Elements of Philosophy, teori koherensi dijelaskan
“suatu proposisi cenderung benar jika
proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi-proposisi
lain yang benar, atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling
berhubungan dengan pengalaman kita.[16]
Secara sederhana
dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori koherensi, suatu pernyataan dianggap
benar jika pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan
pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Bila kita menganggap
bahwa “semua manusia pasti mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka
pernyataan, “si polan adalah manusia dan si polan pasti mati” adalah benar,
sebab pernyataan kedua adalah konsisten
dengan pernyataan yang pertama.[17]
2.
Teori
Korespondensi
Teori korespondensi biasanya dianut
oleh para pengikut realisme, dan mereka berpegang pada pendirian fakta-fakta.
Dan teori ini yang diterima secara luas oleh kelompok realis. Menurut paham
ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita objektif. Kebenaran adalah
persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri.[18]
Kebenaran teori korespondensi
berdasarkan pengalaman inderawi sehingga ada
atau tidak adanya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap
kebenaran atau kekeliruan. Misalnya pernyataan “Kota Bandung berada di wilayah
Jawa Barat” bukan karena pernyataan ini berguna atau apa, tapi karena secara
geografis dan berdasarkan pengalaman maupun bukti empiris memang demikian.
3.
Teori Kebenaran
Pragmatis
Teori kebenaran pragmatis dicetuskan
oleh Charles S. Pierce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun
1878 yang berjudul “How to Make Our Ideas Clear”. Teori ini kemudian
dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan berkebangsaan Amerika
yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika.
Ahli-ahli filsafat ini misalnya William James, John Dewey, George Herbert Mead
dan C. I. Lewis.[19]
Teori pragmatisme beranggapan bahwa
sesuatu itu dianggap benar jika secara fungsional ia memberikan manfaat. Jadi
ukurannya adalah hasil yang didapatkannya. Jika hasilnya menguntungkan maka ia
baik dan benar dan sebaliknya jika hasilnya merugikan maka ia buruk dan salah.
Kattsoff (1986) menguraikan tentang
teori kebenaran pragmatis ini adalah penganut pragmatisme meletakkan ukuran
kebenaran dalam salah satu macam konsekuensi. Atau proposisi itu dapat membantu
untuk mengadakan penyesuaian yang memuaskan terhadap pengalaman, pernyataan itu
adalah benar. Misalnya pengetahuan naik bus berhenti di posisi kiri. Dengan
berhenti di posisi kiri, penumpang bisa turun dengan selamat. Jadi, mengukur
kebenaran bukan dilihat karena bus berhenti di posisi kiri, namun penumpang
bisa turun dengan selamat karena berhenti di posisi kiri.[20]
E.
Batasan
Pengetahuan
Berbicara tentang masalah ontologi
memang sangat luas sekali cakupannya. Ia tidak hanya berbicara soal keberadaan
yang sifatnya materi tetapi juga immateri. Kalau wujud yang materi bisa
diketahui dengan menggunakan pendekatan empiris maka wujud immateri hanya kita
yakini keberadaannya begitu saja. Paling kita percaya karena wujud yang
immateri itu seperti
keberadaan Tuhan, surga, neraka dan lainnya diterangkan dalam kitab suci (wahyu)
bagi kalangan yang beragama. Bagi para penganut paham ateisme tentu saja mereka
tidak memercayai hal-hal yang bersifat immateri tersebut.
Lantas apakah batas yang merupakan
ruang lingkup penjelajahan ilmu? Di manakah ilmu berhenti dan menyerahkan
pengkajian selanjutnya kepada pengetahuan lain? Apakah yang menjadi
karakteristik objek ontologis ilmu yang membedakan ilmu dari
pengetahuan-pengetahuan yang lain? Jawaban dari semua pertanyaan itu sangat
sederhana. Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di
batas pengalaman manusia. Apakah ilmu mempelajari hal ihwal surga dan neraka?
Jawabnya adalah tidak sebab surga dan neraka berada di luar jangkauan
pengalaman manusia. Apakah ilmu mempelajari sebab musabab kejadian terciptanya
manusia? Jawabnya juga adalah tidak sebab kejadian itu berada di luar jangkauan
pengalaman kita. Baik hal yang terjadi sebelum hidup maupun yang terjadi
setelah kematian kita, semua itu berada di luar penjelajahan ilmu.[21]
Dengan demikian
yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah pengetahuan yang hanya bisa dijangkau
oleh akal manusia dan bahkan yang bisa diuji kebenarannya secara empiris. Sebuah
ilmu harus memenuhi standar metodologis dan bisa diuji dengan menggunakan
metode-metode ilmiah. Jika suatu ilmu itu berada di luar jangkauan pengalaman
manusia bagaimana kita bisa menguji kebenarannya dengan standar metodologis dan
metode-metode ilmiah.
Pembatasan ruang lingkup ilmu yang
seperti ini nampaknya sangat sempit sekali. Memang hal ini tidak bisa
dilepaskan dari tradisi keilmuan yang berkembang di Barat. Ilmu yang dalam
bahasa Barat disebut dengan science merupakan suatu pengetahuan yang tidak
diragukan lagi kebenarannya karena ia memenuhi standar-standar ilmiah. Ia bisa
dibuktikan secara empiris dan bisa di eksperimentasi. Sehingga suatu ilmu yang
tidak memenuhi kualifikasi itu bukanlah merupakan ilmu. Oleh sebab itu sesuatu
hal yang sifatnya immateri bukan termasuk objek kajian ilmu dan bahkan ia
dianggap tidak ada. Seperti itulah asumsi para saintis tentang ilmu terutama
yang berkembang di dunia Barat.
F.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Pengetahuan
merupakan khasanah kekayaan mental yang secata langsung atau tak langsung turut
memperkaya kehidupan kita. Sukar untuk dibayangkan bagaimana kehidupan manusia
seandainya tidak ada, sebab pengetahuan merupakan sumber jawaban bagi berbagai
pertanyaan yang muncul dalam kehidupan.
Ada beberapa sumber pengetahuan yaitu wahyu,
intuisi, rasio, empirisme, dan indra. Masing-masing sumber berbeda cara
memperolehnya.
2.
Saran
Makalah ini jauh dari kesempurnaan untuk itu penulis membutuhkan kritik dan
saran dari pembaca agar lebih baiknya makalah ini kedepannya.
[2] Jujun
S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2003), h. 104
[3] Moh Hatta, Pengantar ke Jalan Ilmu dan
Pengetahuan, (Jakarta: Pembangunan 1970),
hlm. 5-6 (JURNAL ILMIAH
word press. Diakses pada tanggal 27-03-2017)
[7] Bakhtiar Amsal, op.cit., h. 99-100
[10]Lihat
Murtadha Muththahari, Mengenal Epistemologi, diterj. dari Mas’ale-ye
Syenokh oleh Muhammad Jawad Bafaqih (Jakarta : Lentera, 2003), bab
Sumber-Sumber Epistemologi, h. 80-109.
[11]Lihat
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam, diterj. dari Philosophical
Instructions: An Introduction To Contemporary Islamic Philosophy oleh Musa
Kazhim dan Saleh Bagir (Bandung: Mizan, 2003), bab Epistemologi, h.77-161.
[13] Bakhtiar Amsal, op.cit., h. 107
[15]Mulyana dalam Diktat
Kuliah Filsafat Agama UIN Bandung (Bandung, 2001), h. 3
Komentar
Posting Komentar